Blog ini adalah Dofollow Blog , silahkan memberikan komentar dan tautan link namun mohon tidak untuk melakukan spam atau komentar yang tidak ada kaitannya dengan artikel yang ada. Terima Kasih

Tak Harus Marah kepada Buah Hati

BERTERIAK, kadang menjadi senjata ampuh orangtua menghentikan sikap anak yang tak disetujuinya. Adakah efeknya bagi si anak di kemudian hari?

Tidak seperti hari-hari biasanya, Dewi, gadis kecil yang biasanya paling ceria di antara teman-teman sekelasnya, terlihat lesu dan tidak bergairah. Tidak ada senyum di bibirnya. Apalagi gelak tawa seperti hari-hari kemarin yang dilewatinya dengan indah di sekolah. Apa yang terjadi dengannya?

Ternyata sebelum berangkat sekolah, Dewi dimarahi ibu dan ayahnya, hanya gara-gara menumpahkan sarapan di seragam yang dikenakannya. Pagi itu ibu dan ayahnya yang tergesa-gesa hendak ke kantor, akhirnya kehilangan kesabaran. Karena harus mengganti kembali seragam yang dikenakan Dewi. Padahal bagi ibu dan ayahnya yang sama-sama bekerja, waktu adalah uang yang tidak bisa dibuang percuma.

Tak pelak bentakan dan kemarahan orangtua menghujaninya. Tindakan tersebutlah yang membuat Dewi tidak bersemangat dan lesu sepanjang hari di sekolah.

Kisah dibentak maupun dimaki orangtua tidak hanya dialami Dewi. Ribuan anak-anak di negeri ini mengalami hal sama. Bahkan, kekerasan pada anak, bisa melebihi tingkat dibentak dan dimaki. Malah banyak anak yang diberlakukan kasar seperti dipukul, dihukum kejam, atau dikurung dalam ruangan yang gelap selama berhari-hari.

Memang di Indonesia Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sudah disahkan. Namun, pelaksanaan di lapangan belum berjalan sesuai harapan.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebutkan, sejak 1992 hingga 2002 secara nasional terdapat 2.184 kasus kekerasan terhadap anak. Sementara di Ruang Pemeriksaan Khusus (RPK) Polda Metro Jaya Jakarta mencatat pada 2002 ada 7 kasus kekerasan terhadap anak yang ditangani, tahun 2003 ada 9 kasus, dan pada 2004 ada 14 kasus. Data tersebut membuktikan, anak-anak Indonesia masih rentan terhadap kekerasan di rumah maupun di lingkungan terdekat.

"Kekerasan terhadap anak biasanya diawali dengan bentakan-bentakan. Karena emosi, biasanya orangtua akan lepas kendali sehingga bentakan itu berlanjut menjadi kekerasan fisik seperti pemukulan maupun anak dikurung di kamar gelap berhari-hari," kata Psikolog Erna Widjaya.

Menurut Erna, bentakan- bentakan pada anak biasanya memberikan pengaruh yang berbeda terhadap usia anak. Pada anak 2-5 tahun reaksi yang timbul adalah cemas terhadap perpisahan, perilaku regresif, kehilangan kemampuan yang baru dicapainya, dan mimpi buruk juga mengigau.

"Reaksi yang terjadi pada anak usia 6-12 tahun adalah kesulitan belajar karena tidak bisa berkonsentrasi dan kegelisahan, gangguan stres pascatrauma, adanya interaksi sosial yang buruk dengan perilaku agresivitas yang menonjol," katanya.

Sementara, reaksi pada anak usia 13-18 tahun, menurut Erna, adalah merusak diri sendiri sebagai cara mengatasi rasa marah dan depresi,melakukan berbagai perilaku berisiko tinggi seperti menggunakan zat-zat terlarang, melakukan tindakan antisosial, menarik diri dari lingkungannya sampai pada isolasi diri. (sindo//nsa)

0 komentar: