Blog ini adalah Dofollow Blog , silahkan memberikan komentar dan tautan link namun mohon tidak untuk melakukan spam atau komentar yang tidak ada kaitannya dengan artikel yang ada. Terima Kasih

Spektrum Autisme, Perlu Terapi Terpadu



Gangguan perilaku pada anak ini dikabarkan meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Untuk saat ini, terapi terpadu bisa jadi solusi!

Boleh dibilang, kata “autisme” seakan-akan jadi momok bagi banyak orang tua. Tidak heran, karena jumlah angka kejadiannya di seluruh dunia terus meningkat. Bagaimana di Indonesia?

Sama juga sih. Jumlah penderitanya juga terus bertambah. Mungkin ini ada hubungannya dengan kesadaran masyarakat akan adanya gangguan perkembangan ini. Sayangnya, belum ada data yang menunjukkan berapa persis angka kejadian penderita autisme di Indonesia.

Kenali varian autisme

Sebenarnya, spektrum autisme adalah gejala autisme, mulai dari yang ringan sampai berat. Dan ternyata, bertambahnya kasus autisme bukan hanya pada kasus autisme klasik ala Kanner saja (simak boks “Apa itu Autisme?”), tapi juga pada varian autisme yang lebih ringan, seperti sindroma Asperger dan atipikal autisme. Apa bedanya sih?

Sindroma Asperger adalah gangguan perkembangan dengan gejala berupa gangguan dalam bersosialisasi, sulit menerima perubahan, suka melakukan hal yang sama berulang-ulang, serta terobsesi dan sibuk sendiri dengan aktivitas yang menarik perhatian. Umumnya, tingkat kecerdasan si kecil baik atau bahkan lebih tinggi dari anak normal. Selain itu, biasanya ia tidak mengalami keterlambatan bicara.

Sedangkan atipikal autisme adalah jenis autisme yang tidak memenuhi kriteria gangguan autisme yang disyaratkan oleh DSM-IV (panduan dalam menegakkan diagnosa gangguan mental). Meski begitu, si kecil juga mengalami kesulitan dalam berinteraksi sosial dan berkomunikasi secara timbal balik. Mungkin juga ia tidak menunjukkan gejala yang khas. Atau, bisa juga gejala-gejalanya lebih ringan dari penyandang autisme klasik.

Penanganan musti pas!

Agar anak dapat “keluar” dari gangguan ini, memang diperlukan intervensi. Nah, bentuk intervensi itu bisa bermacam-macam, tergantung metode yang dianut oleh pusat penanggulangan masalah perilaku atau perkembangan anak. Menurut dr. Dewi K. Utama, Sp.A, dari Pediatric Therapy Clinic , Bandung, salah satu penanganan anak dengan gangguan spektrum autisme adalah terapi perkembangan terpadu.

Nah, terapi itu sendiri terdiri dari terapi okupasi dengan penekanan pada terapi Sensory Integration (Integrasi Sensorik) yang dipadu dengan metode Floor Time. Namun, bila anak memerlukannya, masih ditambah lagi dengan Strategi Visual. Kenapa bisa begitu?

“Terapi Sensory Integration dan Floor Time diberikan setelah anak diketahui menyandang gangguan semua spektrum autisme. Sedangkan Strategi Visual baru diberikan bila anak sudah benar-benar siap menerima terapi ini. Nah, kesiapan ini akan dinilai oleh terapis, dokter dan psikolog yang menangani anak,” ujar dr. Dewi.

Bila terapi berpadu...

Untuk meningkatkan kemampuan anak dalam bersosialisasi dan berkomunikasi, terapi Sensory Integration harus dipadukan dengan metode Floor Time . Apa itu Floor Time ? “Secara harafiah, Floor Time adalah bermain di lantai. Metode bermain interaktif yang spontan dan menyenangkan bagi anak ini bertujuan mengembangkan interaksi dan komunikasi si kecil. Floor Time bisa dilakukan oleh orang tua, terapis, kakek-nenek, maupun pengasuh si kecil nantinya,“ jelas Dra. Linda Gunawan, Psi ., mitra dr. Dewi di Klinik Perkembangan Anak RS Bunda, Jakarta.

Bagaimana bentuk permainannya? Bisa apa saja sih. Yang penting, permainannya interaktif dan komunikatif. Misalnya, bermain lilin bersama, bermain pura-pura (Anda jadi singa dan si kecil sebagai mangsa), dan sebagainya. Sebaiknya, metode ini dilakukan 6-10 kali sehari, masing-masing selama 20 -30 menit. Yang penting nih, lawan bermain harus sabar dan santai dalam melaksanakan metode ini. Sebab, Floor Time bertujuan membentuk komunikasi dua arah antara anak dan lawan bicaranya, serta mendorong munculnya ide dan membantu anak mampu berpikir logis. Agar bisa melakukan Floor Time dengan baik, orang tua perlu bimbingan psikolog yang paham dan berpengalaman dengan metode ini.

Lalu apa yang disebut dengan Strategi Visual? Menurut dr. Dewi, “Umumnya, penyandang gangguan spektrum autisme lebih mampu berpikir secara visual. Jadi, ia lebih mudah mengerti apa yang dilihat ketimbang apa yang didengar.” Makanya, Strategi Visual dipilih agar si kecil lebih mudah memahami berbagai hal yang ingin Anda sampaikan. Biasanya, ia akan diperkenalkan pada berbagai aktivitas keseharian, larangan-aturan, jadwal, dan sebagainya lewat gambar-gambar. Misalnya, gambar urutan dari cara menggosok gigi, mencuci tangan, dan sebagainya.

Nah, dengan Strategi Visual, diharapkan anak bisa memahami situasi, aturan, mengatasi rasa cemas, serta mengantisipasi kondisi yang akan terjadi. “Kalau sudah begini, berbagai perilaku yang seringkali menyulitkan, seperti sulit berpindah dari satu aktivitas ke aktivitas lain, sulit memahami urutan suatu aktivitas, rasa marah atau cemas bila tidak tahu apa yang akan dikerjakan atau terjadi, dan sebagainya, bisa diminimalkan. Si kecil pun akan menunjukkan perilaku yang lebih sesuai dengan lingkungannya,” kata dr. Dewi lagi.

Perlu kerjasama semua pihak

Biar gangguan spektrum autisme bisa diatasi secara optimal, memang diperlukan kerjasama yang sangat erat antara orang tua, terapis, dokter, psikolog, serta juga guru di sekolah. Ini bila si kecil telah bersekolah lho. “Guru perlu tahu kalau penanganan anak autisme sangat berbeda dengan anak normal lainnya. Dengan begitu, penanganan si kecil bisa lebih baik lagi,” jelas dr. Dewi.

Nah, dalam kerjasama tim ini, orang tua adalah anggota tim yang memegang peranan yang terbesar. Kenapa? “Orang tua adalah orang yang paling dekat dengan anak. Untuk mencapai hasil yang diharapkan, semua ini sangat tergantung pada usaha Anda,” sambungnya.

Laila Andaryani Hadis(ayahbunda)

0 komentar: