Hiperaktif, “Anak Nakal” yang Butuh Pertolongan
Anak yang lasak bergerak sering dicap nakal. Padahal, mungkin saja ia bukan sembarang nakal tapi ada gangguan…
Memasuki usia 4 tahun, polah Rio benar-benar membuat orang tuanya kewalahan. Ia lasak bergerak. Seolah-olah tidak kenal arti lelah. Juga, teman atau anak sebayanya sering menangis setelah ‘disapa’ Rio. Ia pun dijauhi dan mendapat cap anak nakal.
‘Nakal’ seperti Rio adalah ciri dari anak yang menderita Attention Deficit Hiperactive Disorder (ADHD) atau Gangguan Pemusatan Perhatian & Hiperaktivitas (GPPH). Dan, hubungan sosial si penderita dengan lingkungannya memang kerap jadi terganggu.
Masalahnya, jumlah penderita ADHD di Indonesia cenderung terus meningkat. Mengapa?
Bisa cuma aktif
Balita Anda kelihatan aktif? Sebenarnya, itu wajar-wajar saja. Karena, inilah usia di mana anak sedang giat-giatnya mengeksplorasi lingkungannya. “Dalam rentang usia itu, balita berada dalam fase otonomi atau mencari rasa puas melalui aktivitas geraknya. Tapi, kalau ia terlalu aktif atau malah hiperaktif, tentu saja ini tidak wajar!” tegas dr. Dwijo Saputro, psikiater anak dan Pimpinan “SmartKid”, klinik perkembangan anak dan kesulitan belajar di Jakarta.
Farhan, presenter kondang, langsung menyadari kalau anak sulungnya, Ridzky (5 tahun), kelewat aktif. “Kalau lagi senang, ia sering memutar-mutarkan badannya, berteriak-teriak, lari ke sana-sini, serta lari berputar-putar mengelilingi sebuah benda. Kalau dia senang dengan suatu gambar, langsung deh gambar itu dirobek-robek,” katanya.
Namun, Kristi Meisenbach Boylan , penulis yang tinggal di Texas, Amerika Serikat, mengaku agak kaget juga ketika dihadapkan pada kenyataan anak keduanya, Brandan , termasuk anak dengan kebutuhan khusus. Padahal, awalnya ia mengira Brandan hanya agak aktif saja.
Lalu, kapan anak disebut hiperaktif? “Terus terang, tidak ada alat ukur yang bersifat obyektif dan tegas untuk menentukannya. Karenanya, para ahli sepakat menentukan sejumlah kriteria yang menjadi ciri khas. Dan, sebelum memastikannya, akan dilakukan diagnosa berdasarkan panduan sejumlah kriteria yang dibuat oleh Perhimpunan Psikiater Anak di Amerika Serikat, yakni Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders ( DSM). Yang terbaru saat ini adalah DSM Seri 4,” jelas dr. Dwijo yang mengambil spesialisasi psikiatri dari Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, tahun 1983.
Untuk gampangnya, ADHD bisa digolongkan menjadi beberapa tipe. Kalau anak memiliki kriteria konsentrasi buruk dan hiperaktif, maka gangguannya disebut ADHD tipe kombinasi. Jika kriterianya sulit berkonsentrasi, anak termasuk penderita ADHD tipe sulit konsentrasi. Lalu, anak yang menunjukkan perilaku hiperaktif dan impulsif saja tergolong sebagai penderita ADHD hiperaktif-impulsif. “Kadang-kadang, ada juga anak yang sekilas kriterianya mirip ADHD. Tapi, setelah diperinci satu demi satu, ternyata tidak ada yang cocok. Nah, ini termasuk ADHD tidak tergolongkan,” jelas dr. Dwijo.
Usia 3, 5 - 7 tahun yang rawan
Sebenarnya, gangguan ADHD tidak begitu sulit dideteksi. Karena, ciri-cirinya begitu khas; yakni sulit berkonsentrasi dan hiperaktif maupun impulsif pada setiap situasi. Dan, gangguan perilaku itu kerap menyebabkan anak gagal melakukan aktivitas dalam kehidupan sehari-harinya.
Meski begitu, Anda tidak bisa begitu saja mengatakan kalau si kecil Anda pasti menderita ADHD, semata-mata ‘bermodalkan’ ketiga ciri utama itu. Balita Anda masih harus memiliki enam dari sembilan kriteria yang ditetapkan dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (lihat boks “Beberapa Kriteria Anak ADHD”).
Ketiga ciri utama ADHD sebenarnya sudah bisa diketahui sebelum anak berusia tujuh tahun. Tepatnya, menurut dr. Dwijo, antara usia 3,5 - 7 tahun. Tapi, ada juga anak yang gangguan ADHD-nya sudah terlihat pada umur 1,5 - 2,5 tahun.
Gangguan ini terbukti diwariskan secara genetik. “Dan, kebanyakan penderitanya adalah anak laki-laki. Kalau mau dibuat perbandingan, kira-kira 2-6 kali lebih banyak ketimbang anak perempuan,” tambah dr. Dwijo.
Ketidakberesan otak
Sejumlah penelitian telah dilakukan oleh para ahli di berbagai pelosok dunia untuk menyingkap penyebab pasti gangguan ini. Bahkan, para ahli telah menggunakan peralatan paling mutakhir untuk melakukan pencitraan otak. Misalnya, Positron Emission Tomography (PET), Single Photon Emission Computed Tomography (SPECT), serta Magnetic Resonance Imaging (MRI).
Akhirnya, barulah diketahui memang ada yang salah pada otak anak ADHD. “Kelainan pada otak ini bisa terjadi di bagian depan otak, namun bisa pula terjadi pada senyawa kimia penghantar rangsang atau neurotransmitter. Khususnya, dari jenis dopamin dan norepinefrin, ” jelas dr. Dwijo. “Otak anak penderita ADHD, khususnya otak kanan, memiliki ukuran yang lebih kecil,” tambah dr. Dwijo.
Minum obat atau tidak?
Sebenarnya, penanganan penderita ADHD bisa dilakukan dengan beberapa cara. Hanya saja, karena ‘biang keladi’ dari gangguan ini adalah otak, mau tidak mau penanganannya ya dimulai dari otak.
Menurut, dr. Dwijo, yang juga Koordinator Pelatihan Psikiatri di RS Graha Medika, Jakarta, “Khusus penderita ADHD yang masih berusia di bawah lima tahun, biasanya ia diterapi perilaku dulu. Bentuk terapinya bisa berbeda-beda, karena sifatnya benar-benar case by case . Terapi ini bisa juga dilakukan oleh orang tua. Tentunya, setelah orang tua mendapat bimbingan dari psikiater anak. Bila terapi ini tidak membuahkan hasil, barulah obat diberikan.”
Ini yang terjadi pada Ridzky, anak Farhan. Sebagai penderita autis dengan spektrum ADHD, ia harus menjalani dua macam terapi. Pertama, ABA ( Applied Behavioral Analysis), yaitu terapi yang meminta dia mengikuti semua aturan yang diberikan. Dalam setiap aturan, ada punishment dan reward. Kedua, SI ( Sensory Integration), yakni terapi untuk merangsang impuls sensorinya, sehingga dia dapat mengkoordinasikan gerakan otot tubuh sesuai perintah dari otak.
Obat, biasanya, diberikan belakangan karena hingga kini terapi obat masih banyak menimbulkan kontroversi di kalangan ahli. Apakah pemberian obat tidak akan menyebabkan ketergantungan nantinya? “Memang dosis obat tergantung pada seberapa ‘salah’ otak si penderita ADHD. Dan, tidak tertutup kemungkinan, ia akan terus minum obat sampai dewasa. Meski begitu, biasanya dokter sudah memperhitungkan secara akurat dosis obat yang sesuai bagi pasiennya,” kata dr. Dwijo.
Kekhawatiran terhadap efek samping terapi obat juga sempat dirasakan oleh Kristi, “Sebelum Brandan didiagnosa, kami selalu menghindari penggunaan obat-obatan. Sehingga, begitu dokter memberi beberapa jenis obat sebagai terapi, wah benar-benar seperti mimpi buruk!”
Kristi, yang menulis seluruh pengalaman hidupnya selama merawat Brandan dalam buku “Born to be Wild, Freeing the Spirit of the Hyperactive Child” melanjutkan, “Setelah Brandan menunjukkan gejala efek samping dari pemakaian obatnya, yakni muntah-muntah, kami memutuskan untuk menghentikan semua terapi obat ketika ia berusia delapan tahun. Sekarang, di usianya yang ke-12, Brandan sudah sepenuhnya bebas dari pengaruh efek samping obat-obatan.”
Orang tua musti kompak
Yang pasti, penanganan anak penderita ADHD, baik dalam bentuk terapi perilaku maupun terapi obat, tidak akan memberikan hasil yang optimal bila tidak ditunjang oleh sikap kedua orang tuanya. Kristi, misalnya. Ia dan suaminya ingin Brandan bebas dari segala obat-obatan, sekaligus membiarkan Brandan menjadi dirinya sendiri. Untuk yang terakhir ini, mereka sengaja memindahkan Brandan dari sekolah khusus ke sekolah umum. “Di sekolah baru, gurunya tahu benar cara bersikap dan bertindak terhadap anak-anak seperti Brandan. Brandan juga jadi happy ,” kata Kristi.
Sehubungan dengan ini, dr. Dwijo mengingatkan, “ADHD adalah satu-satunya gangguan perilaku yang paling mudah ditangani dan bisa diobati. Makanya, penanganan harus sedini mungkin. Dan, ini dimungkinkan bila Anda dan pasangan cepat tanggap dan menyadari bahwa perilaku si kecil berlebihan. Dari sini, segeralah berkonsultasi pada ahlinya.”
7.000 Kasus Baru
Di Amerika Serikat, sekitar 2-10% populasi anak sekolah menderita ADHD. Sementara di Indonesia, dalam populasi anak sekolah, ada 2-4% anak yang menderita ADHD. Namun, di kota-kota besar, seperti Jakarta, persentasenya bisa lebih tinggi lagi. Minimal ada lebih dari 10% anak penderita ADHD. Dan, yang agak memprihatinkan adalah, diperkirakan akan ada sekitar 7.000 kasus baru setiap tahunnya!
Beberapa Kriteria ADHD
Kriteria sulit konsentrasi:
- Sering melakukan kecerobohan atau gagal menyimak hal yang rinci dan sering membuat kesalahan karena tidak cermat.
- Sering sulit memusatkan perhatian secara terus-menerus dalam suatu aktivitas.
- Sering tampak tidak mendengarkan kalau diajak bicara.
- Sering tidak mengikuti instruksi dan gagal menyelesaikan tugas.
- Sering sulit mengatur kegiatan maupun tugas.
- Sering menghindar, tidak menyukai, atau enggan melakukan tugas yang butuh pemikiran yang cukup lama.
- Sering kehilangan barang yang dibutuhkan untuk melakukan tugas.
- Sering mudah beralih perhatian oleh rangsang dari luar.
- Sering lupa dalam mengerjakan kegiatan sehari-hari.
Kriteria hiperaktif dan impulsif:
- Sering menggerak-gerakkan tangan atau kaki ketika duduk, atau sering menggeliat.
- Sering meninggalkan tempat duduknya, padahal seharusnya ia duduk manis.
- Sering berlari-lari atau memanjat secara berlebihan pada keadaan yang tidak selayaknya.
- Sering tidak mampu melakukan atau mengikuti kegiatan dengan tenang.
- Selalu bergerak, seolah-olah tubuhnya didorong oleh mesin. Juga, tenaganya tidak pernah habis.
- Sering terlalu banyak bicara.
- Sering terlalu cepat memberi jawaban ketika ditanya, padahal pertanyaan belum selesai.
- Sering sulit menunggu giliran.
- Sering memotong atau menyela pembicaraan.
Obat Menyebabkan Ketergantungan?
Masih ada pro dan kontra seputar hal ini. Meski begitu, tidak ada salahnya bila Anda menyimak uraian Robert D. Hunt, dari National Institute of Mental Health , Amerika Serikat.
Dalam artikelnya di Pediatric Annals , edisi Maret 2001, ia menguraikan, prinsip dasar obat-obatan yang diberikan untuk terapi penderita ADHD adalah memanipulasi senyawa-senyawa kimia yang menjadi bahan baku pembentuk neurotransmitter yang terganggu, sehingga mendekati kondisi normal. Nah, bila manipulasi dilakukan sejak usia dini, diharapkan tubuh penderita lama kelamaan akan mampu mengurangi ketergantungannya pada obat.
Tips agar si Kecil Tenang
- Lingkungan rumah tenang.
- Suasana kamar teduh.
- Terapkan aturan dengan tegas.
- Sediakan ruangan untuk santai.
- Biasakan anak mengekspresikan emosinya dalam bentuk tulisan atau gambar.
- Piknik ke tempat yang indah dapat membantu si kecil menanamkan hal-hal positif di dalam pikiran.
- Aturlah pola makan. Hindari konsumsi gula dan bahan makanan berkadar karbohidrat tinggi.
- Ajari anak untuk berlatih menenangkan diri sendiri. Caranya, menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya melalui mulut. Ulangi beberapa kali.
Label:
Aktifitas Anak
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar