Blog ini adalah Dofollow Blog , silahkan memberikan komentar dan tautan link namun mohon tidak untuk melakukan spam atau komentar yang tidak ada kaitannya dengan artikel yang ada. Terima Kasih

TB Masih Mengancam Balita



Meski sudah ada obatnya, jumlah penderita TB anak di Indonesia ternyata tak kunjung turun. Tak ada salahnya berhati-hati.

Siapa sih yang tak kenal penyakit Tuberkulosis atau TB? Apalagi, penyakit infeksi ini tidak pilih-pilih mangsa. Kaya atau miskin sama saja. Bukan tak mungkin, si kecil juga bisa jadi sasaran empuknya.

Gara-gara orang dewasa

Sebenarnya, balita akan tertular TB, jika ada penderita TB dewasa di sekitarnya. Ini bisa berarti ayah, ibu, kakek, nenek, pengasuh, supir, saudara, atau orang dewasa lain. Ya, penularan TB memang melalui udara. Ketika batuk, maka penderita TB akan menebarkan kuman. Nah, kuman ini terhirup oleh si kecil, lalu melewati saluran napas dan paru-parunya

Menurut dr. Bambang Supriyatno, Sp.AK , Ketua UKK Pulmonologi Ikatan Dokter Anak Indonesia, “Berdasarkan teori, kalau ada orang dewasa terbukti TB positif, maka kira-kira 65% orang di sekitarnya akan tertular. Dari 65% orang ini, sekitar 16% di antaranya akan TB aktif. Jadi, bila ada 1 orang dewasa TB positif, maka kira-kira 10% orang di lingkungannya akan TB aktif. Masalahnya, jika 10% dari orang-orang ini adalah orang dewasa, dia berpotensial menularkannya lagi ke anak-anak.“

Sebaliknya, kalau ada anak yang positif TB, pastilah ia tertular orang dewasa di lingkungannya. Jadi, orang itu mesti dicari biar lingkungan benar-benar bebas TB,” ungkap Kepala Divisi Respirologi IKA FKUI/RSUPN Cipto Mangunkusumo. Ini berarti, semua orang dewasa dalam rumah si kecil perlu diperiksa, tanpa kecuali.

Gampang dideteksi

Sebenarnya, cara paling ampuh untuk mendiagnosis TB adalah, dengan melakukan pemeriksaan dahak. Sayangnya, pemeriksaan ini susah dilakukan pada anak-anak. Tak mudah kan menyuruh anak kecil berdahak? Apalagi, seringkali dahak malah ditelannya, sehingga masuk pencernaan.

Jadi, pendeteksian TB pada anak biasanya dilakukan dengan cara memeriksa cairan lambungnya. Hanya saja, akurasi pemeriksaan ini jauh lebih rendah ketimbang pemeriksaan dahak.

Lalu, bila anak dicurigai menderita TB, dokter akan melakukan serangkaian tes. Setelah pemeriksaan fisik, juga akan dilakukan pemeriksaan rontgen dan uji tuberkulin (uji Mantoux). Apa itu uji Mantoux? Menyuntikkan ekstrak protein dari kuman TB ke dalam kulit. Jika reaksi kulit si kecil adalah menonjol dengan garis tengah sama atau lebih dari 10 mm, ini dapat berarti ia pernah berkontak dengan orang dewasa penderita TB.

Kuman super bandel

Bila anak berkontak dengan penderita TB, sebenarnya belum tentu ia langsung sakit. Kalau sel darah putih yang notabene berfungsi sebagai pasukan pertahanan tubuhnya kuat, maka kuman-kuman TB akan langsung mati.

Namun, bisa juga kuman yang super bandel itu berhasil masuk ke tubuh. Nah, kuman yang lolos sensor ini dibagi jadi 2. Pertama, kuman yang tenang-tenang saja berada dalam tubuh dan jumlahnya hanya sedikit. Kedua, kuman yang masuknya “serombongan” serta biasanya aktif. Sebagai catatan, masa inkubasi (masa antara masuknya kuman ke dalam tubuh hingga timbul gejala penyakit) penyakit ini sekitar 2-10 minggu.

Kalau sudah begini, bagaimana cara menangani si kecil? Ia perlu minum obat-obatan. Umumnya, masa pengobatan berlangsung selama 6 bulan. Sayangnya, selesai pengobatan, kuman TB dalam tubuh si kecil tidak akan lenyap 100%. Selalu saja ada kuman yang tertinggal dan terus menghuni tubuhnya. Di mana sih tempat favorit kuman super bandel itu? Di paru-paru kanan atas.

Meski kuman kelihatannya tenang, ini bukan berarti kondisi anak pasti aman. Sekalipun sudah pernah terkena TB dan telah menjalani pengobatan secara tuntas, tetap saja ia jadi incaran kuman yang hobinya ngendon itu. Belum lagi, kalau kondisi si kecil memburuk, seperti menderita campak, mau tidak mau kuman TB jadi aktif. Nah, kondisi seperti ini disebut reaktifasi. “Makanya, tubuh anak harus terus dijaga hingga dewasa kelak. Dengan begitu, kuman itu tidak sempat jadi aktif. Sayangnya, kasus yang paling banyak terjadi di Indonesia adalah jenis yang reaktifasi ini,” kata dr. Bambang.

Untung bisa dicegah

Hingga kini, cara terbaik mengurangi risiko terinfeksi TB adalah melakukan imunisasi BCG pada bayi usia 2 bulan. Meski tidak bisa melindungi 100%, imunisasi ini bisa menghindari anak dari risiko akibat memberatnya infeksi TB yang dideritanya. Misalnya, kuman menyebar ke otak dan menyebabkan radang selaput otak.

Apa lagi? Oke, si kecil telah diimunisasi BCG. Namun, kalau selama masa pertumbuhan, ia tidak memperoleh gizi yang baik, tubuhnya tidak pernah sehat dan bugar, bahkan masih ditambah lagi dengan kondisi lingkungannya tidak sehat (kotor dan lembap), ya TB akan terus mengintainya.
Jadi, kalau mau balita Anda terhindar dari TB, segeralah benahi pola hidupnya. Caranya? Selalu mengonsumsi makanan bergizi seimbang, rajin berolahraga, cukup istirahat, serta menjaga kebersihan lingkungan.

Nia L.T.(ayahbunda)

0 komentar: