PERSAINGAN antarsaudara di masa balita adalah yang paling sengit. Jika tidak ditangani dengan tepat, kemungkinan akan terulang saat anak berusia 8-12 tahun.
Bukan sekadar terulang, bisa jadi keadaannya akan semakin memburuk menjelang masa remaja. Demikian disebutkan dalam publikasi Academy of Pediatric (AAP). Meski awetnya kompetisi kakak-adik merupakan hal yang wajar, persaingan yang sengit bisa menjadi tidak sehat dan merusak suasana di dalam keluarga.
Mengingat pernyataan para ahli perkembangan anak, saudara adalah teman sebaya (peer) pertama yang anak miliki. Melalui hubungan dengan saudara sekandung, anak belajar bagaimana harus berbagi, bersikap sebagai teman, mencintai, dan bersikap kooperatif. Orangtua perlu belajar bersama dengan anak untuk mengendalikan persaingan tersebut sejak dini.
Menurut Marjorie Hogan yang menjabat direktur pendidikan medis anak di Hennepin County Medical Center, Minneapolis, anak perlu belajar bagaimana cara mendapatkan kasih sayang dan perhatian orangtua melalui cara-cara yang sesuai, dan bagaimana cara mendapatkan penghargaan melalui keunikan mereka.
Pernyataan itu diperkuat oleh pediatri dan penulis The Parent's Problem Solver, Cathryn Tobin MD. Dia menuturkan, asas adil merata bukanlah prinsip yang dapat digunakan dalam mendidik anak. Masing-masing anak adalah individu yang unik.
Ketika orangtua berusaha memberikan jumlah yang persis sama dalam cinta, waktu dan perhatian, anak-anak tidak akan merasa puas. "Memperlakukan anak-anak secara sama hanya akan menciptakan lebih banyak masalah," katanya.
Untuk menyikapi hal tersebut, orangtua harus belajar mengasihi dan memperhatikan anak dengan cara-cara yang sesuai, dan belajar menghargai keunikan anak.
Perhatikan bakat masing-masing anak, dan kembangkan dengan memberikan kursus atau kegiatan khusus. Misalnya, si sulung menyukai musik, dorong dia untuk mempelajari salah satu alat musik. Biarkan dia tumbuh dengan keunikannya. Bakat khusus anak yang terus diasah akan membangun harga dirinya.
Apabila persaingan menjadi sengit dan kasar, maka orangtua perlu menetapkan semacam batas konflik dan aturan penyelesaian untuk anak. Misalnya, jika posisi duduk di mobil selalu memicu persaingan, atur giliran memilih tempat duduk favorit untuk tiap anak.
Jika ada yang melanggar, yang lain berhak mengingatkan. Namun, tidak boleh kasar, dan yang melanggar harus mau diingatkan.
Adakalanya orangtua melihat anak nyata-nyata bersalah. Orangtua tentu perlu menegur atau memberi sanksi sebagai konsekuensi perbuatannya. Namun, sebisa mungkin jangan lakukan itu di depan anak lain agar anak yang dihukum tidak menjadi bahan ejekan. "Ejek-mengejek disebut sebagai salah satu amunisi persaingan," sebut Hogan. (sindo//nsa)
0 komentar:
Posting Komentar