MEMAHAMI kondisi orang lain akan mempertajam kecerdasan sosial seseorang. Bagaimana sikap empati ini ditanamkan kepada anak-anak secara dini? Empati merupakan sikap atau perilaku memahami suatu permasalahan dari sudut pandang atau perasaan lawan bicara.
Egois, cuek, dan tidak peduli merupakan representasi dari ketiadaan empati. Hal ini sering kali menjadi penyulut konflik. Mengapa ada orangtua memilih tempat perayaan ulang tahun anaknya di panti asuhan? Mengapa anak sesekali perlu diajak melongok anak-anak jalanan seusianya yang tinggal di kolong jembatan? Tentu agar dia melihat potret kehidupan orang lain, serta belajar untuk peduli dan memahami bahwa banyak anak-anak yang tidak seberuntung dirinya.
Pada akhirnya kegiatan tersebut dapat memunculkan sikap dan perasaan empati. "Pola asuh empati (parental empathy) berperan penting dalam perkembangan kesehatan psikologis. Kurangnya empati dapat meningkatkan risiko gangguan kepribadian, sikap depresi, dan menyakiti diri sendiri," ujar Stephen Montana PhD, Direktur Pelayanan Klinis di Saint Luke Institute New Hampshire USA. Pada dasarnya setiap manusia dibekali sifat welas asih untuk saling membantu dan menyayangi antarsesama manusia, sesama makhluk hidup dan lingkungannya.
Anak yang nakal dan pemberontak sekalipun dapat tersentuh hatinya bila melihat langsung penderitaan kaum papa maupun korban bencana. Ketika jiwa empati muncul, hati pun tergerak untuk membantu. Empati erat kaitannya dengan kepekaan atau kecerdasan sosial. Keduanya perlu ditanamkan sejak kecil. Perlu diingat juga bahwa empati melibatkan afeksi dan emosi. Padahal, kemampuan anak mengelola emosi dengan baik juga berkaitan dengan kecerdasan emosional alias emotional quotient (EQ). EQ merupakan salah satu aspek kecerdasan yang konon lebih penting dibandingkan IQ (intelegency quotient).
Baik IQ maupun EQ menjadi bagian dari kecerdasan interpersonal yang harus diasah dalam keseharian si anak. "Kecerdasan interpersonal harus dimulai sejak usia dini dan dimulai dari rumah," ujar psikolog Tika Bisono MPsi. Komunikasi efektif antara orangtua-anak begitu kerap didengungkan.Tentu bukan tanpa alasan karena cara orangtua membangun komunikasi dan hubungan dengan anak akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan sosial emosional si anak dan terbawa hingga dia dewasa kelak. Untuk itu, orangtua harus menciptakan kedekatan dengan buah hatinya dari segala aspek.
Misalkan melalui kebiasaan curhat yang akan membangun dan meningkatkan kualitas interpersonal dengan lingkungan sosial yang lebih luas. "Bersahabat dengan anak adalah memungkinkan jika orangtua mau dan mampu mengembangkan empati terhadap suasana hati anak dalam skala yang terkecil sekalipun," tegas pemilik Tibis Sinergi Consultant ini. Komunikasi yang efektif dapat mendorong terciptanya keterbukaan. Anak akan bersikap terbuka bila ada rasa aman dan nyaman yang terbangun dari kedekatan dengan orangtua dan rasa percaya diri anak.
Padahal, kepercayaan diri akan terpupuk jika anak diberi kebebasan yang sesuai haknya. Antara lain bebas mengemukakan pendapat, mengekspresikan diri, berasosiasi dan bermusyawarah, hak memiliki privasi dan hak diberi informasi. "Kebebasan adalah dasar dari sifat mandiri secara emosional, dan ini perlu dipelajari secara aktif-partisipatif," ungkap Tika seraya menjelaskan bahwa partisipasi merupakan sebuah ekspresi dari kemampuan anak untuk berpikir dengan caranya sendiri, membagi ide, dan membuat keputusan sendiri. (sindo//mbs)
0 komentar:
Posting Komentar