Bercermin Lewat Kompetisi?
Tak semua orang tua memahami keinginan berkompetisi si kecil. “Mengapa anakku suka sekali bersaing?” Bagaimana sebaiknya ibu dan ayah menghadapi hal demikian?
Di kepala sebagian besar orang tua, bisa jadi, anak-anak terlalu kecil untuk terpapar situasi penuh kompetisi, meskipun untuk hal-hal kecil. Benarkah demikian? “Anak-anak sebenarnya memiliki naluri dasar untuk bersaing. Dimulai saat usia 3 atau 3,5 tahun, anak-anak mulai mengukur dirinya,” ungkap Dr. Hermann Scheuerer-Englisch , psikolog pada sebuah lembaga konsultasi keluarga, pendidikan dan anak, di Regensburg, Jerman.
Sebagian besar anak suka berkompetisi, namun tak semua orang tua memahami keinginan berkompetisi ini sebagaimana anak-anaknya. Masalahnya, selama ini persaingan yang terjadi kerap kali tak hanya melibatkan si balita. Di TK, misalnya, orang tua dari anak-anak yang mengikuti lomba lari karung atau lomba menggambar, terlalu melibatkan diri. Seharusnya persaingan antarbalita dibiarkan saja menjadi persaingan atau kompetisi diantara mereka.
Menurut Dr. Scheuerer-Englisch, ukuran anak-anak dibandingkan orang dewasa sangat berbeda dalam urusan persaingan. Anak-anak melihatnya lebih sebagai bagian dari kegiatan bermain. Mereka tak sakit hati jika mengalami kekalahan.
Persaingan sehat
Berdasarkan tahapan perkembangan, di usia 3 atau 4 tahun, anak-anak mulai bermain bersama dalam kelompok, berbicara satu sama lain dan memilih teman bermain. Elizabeth B. Hurlock , ahli perkembangan anak, memasukkan persaingan sebagai salah satu pola perilaku situasi sosial pada masa kanak-kanak awal. Ketika Anda melihat si kecil suka berlomba minum susu dengan kakaknya, atau saling membandingkan tinggi badan dengan para sepupu, itu pertanda perkembangan psikogis si kecil Anda sehat.
Pada masa ini orang tua bertugas mengarahkan anak agar persaingan berlangsung sehat. Artinya, persaingan tanpa campur tangan orang dewasa merupakan bagian dari kegiatan bermain, mendorong anak meningkatkan keterampilan atau kemampuan, dan menempa daya juang anak. (Lihat boks: ”Bersaing? Boleh Saja! ).
Ada empat aspek yang berkaitan dengan dorongan bersaing atau berkompetisi pada balita yaitu pengenalan diri, pengalaman pertama berkelompok atau bersosialisasi, trik orang tua dan tuntutan lingkungan.
1. Pengenalan diri
Dalam pengenalan diri ini anak membangun ego dan mencari identitas diri. Anak-anak usia 3 – 3, 5 tahun biasanya mulai memahami persaingan. Setiap hari mereka menemukan ukuran-ukuran baru dari diri mereka. Anak-anak usia ini selalu mengukur dirinya terhadap anak-anak lain. Di usia 3 tahun, anak sudah memiliki rencana-rencana, tujuan-tujuan, dan harapan-harapan sendiri. Scheuerer-Englisch menjelaskan, “Tentu saja anak ingin agar ia mendapatkan pengalaman sebanyak-banyaknya dan kesempatan untuk banyak mencoba.” Dengan membuktikan diri bisa menentukan sesuatu sendiri atau bisa lebih baik dari yang lain, si balita seolah menegaskan, “Saya bisa, maka keberadaan saya sebagai manusia diakui.”
Di usia 4 tahun barulah anak memiliki beberapa pengalaman. Ia pun mulai belajar dari pengalaman tersebut. Beberapa anak jadi lebih percaya diri. Sebagian lagi lebih mawas diri. Meskipun punya beberapa pengalaman, ukuran yang dimiliki si 4 tahun belumlah sedemikian berkembang. Si 4 tahun yang sudah hafal sebuah lagu yang jumlah barisnya lebih banyak dari temannya, misalnya, merasa bangga dan serta merta membandingkan keadaan ini.
Sementara di usia 5 tahun, barulah anak mulai memperhitungkan ukuran dirinya dalam menilai orang lain. Misalnya, ia mulai memperhatikan betapa seorang anak dari daerah lain susah payah belajar menyanyikan lagu berbahasa ibu yang justru dapat dikuasainya dengan mudah.
2. Pengalaman pertama berkelompok atau bersosialisasi
Di Taman Kanak-kanak (TK), anak-anak biasanya memulai pengembangan konsep diri yang realistis, karena di TK anak bertemu sejumlah anak seusianya. Mulailah si kecil membandingkan, setinggi apa menara mainan balok yang dapat dibuatnya dibandingkan dengan teman-temannya? Apakah saya termasuk anak yang rata-rata? Apakah saya bisa melakukan apa yang dilakukan anak-anak lain?
“Dorongan untuk terus membandingkan diri dengan teman-teman seusia merupakan pertanda bahwa anak berkembang sesuai anak-anak seusianya. Namun itu tak berarti orang tua atau guru perlu menghentikan perbandingan-perbandingan yang dilakukan balita,” ungkap Dr. Scheuerer-Englisch. Ini karena anak-anak belajar menghadapi keberhasilan dan kegagalan. Mereka belajar bahwa setiap anak, dirinya maupun anak lain, dapat melakukan sesuatu.
Konsep diri anak-anak semakin stabil dengan pandangan seperti ini. Bagi anak, keberhasilan dan kegagalan langsung terlihat karena hampir semua perbandingkan berurusan dengan pencapaian yang bersifat fisik. Misalnya, keterampilan melompat, lari, atau memanjat. Dengan penilaian terhadap cepat-lambatnya lari, tinggi-rendahnya lompatan yang dibuat dan ukuran lainnya, balita merasa nyaman, karena penilaian dibuat oleh mereka sendiri. Bukan oleh orang lain, seperti guru yang memberi nilai berupa angka atas tugas-tugas yang mereka lakukan.
3. Salah satu trik orang tua
Dr. Scheuerer-Englisch secara pribadi tak setuju jika tujuan mendidik anak untuk saling bersaing agar anak selalu nomor satu, dan tak memiliki rasa setia kawan dengan teman-temannya. Menurutnya, orang tua berperan penting dalam memperhatikan batasan-batasan yang tak boleh anak langgar. Selain bersaing, dengan saudaranya atau teman sebaya, orang tua sebaiknya juga mengasah keterampilan anak berkegiatan secara kelompok yang diharapkan dapat mengajarkan anak bahwa dalam banyak hal ia harus dapat bekerja sama dan tak saling membandingkan.
Kompetisi kecil tanpa sadar sebenarnya mudah dijumpai dalam kehidupan keluarga sehari-hari, bahkan seringkali merupakan inisiatif orang tua. “Siapa yang pertama kali bisa menghabiskan makan, boleh main lebih lama,” atau “Siapa yang mandi lebih dulu akan dibuatkan susu coklat.” Oleh karena si prasekolah secara alami terbawa ke dalam situasi persaingan kecil, maka trik orang tua untuk menggunakan kompetisi sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu, akan disambut balita dengan menunjukkan kepandaiannya. Cara mudah ini biasanya berhasil membantu orang tua mencapai tujuannya.
Selama cara ini digunakan hanya sekali-sekali, tidak masalah. Jangan sampai cara ini digunakan terus-menerus. Menurut pengalaman Dr. Scheurer-Englisch, cara ini cenderung membentuk anak haus kompetisi dan ingin menang sendiri, atau jadi anak berpamrih.
4. Tuntutan lingkungan
Semakin hari, persaingan di dalam kehidupan nyata semakin mencekik. Anak-anak pun terpengaruh: Siapa yang sudah bisa mengikat tali sepatu? Siapa yang belajar biola? Siapa yang bisa berbahasa Inggris?
Meskipun sedikit demi sedikit, menurut Dr. Scheuerer-Englisch, anak-anak masa kini harus mulai belajar menghadapi apa yang terjadi di dunia nyata. Belajar menghadapi beberapa tekanan kecil dan sedikit menghadapi kesulitan. Yang penting, bekali anak dengan pengetahuan untuk menghadapi kerasnya persaingan, dan keyakinan diri bahwa ia pasti bisa melakukan apa saja, asalkan mau belajar.
Lalu, apa yang dapat dilakukan orang tua masa kini agar anak-anak mereka tangguh? Tentu dengan latihan di masa balita, dengan membiarkan anak mengukur dan mengenali dirinya, membiarkan anak tertempa oleh situasi nyata, maka ia keluar menjadi ‘pemenang’, yang akan survive di dunia nyata, di masa depan.
Andi Maerzyda A. D. Th.(ayahbunda)
Label:
Psikologi anak
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar