Cerdaskan & Bahagiakan Anak
Sudah cerdas, bahagia pula. Senang sekali jika anak-anak kita punya keduanya. Asal Anda rela, tak sulit menyeimbangkan antara kegiatan yang mencerdaskan dan yang membahagiakan si kecil
“Ma, boleh enggak Kayla hari ini enggak usah les?”
“Kenapa? Bosan?” tanya Tita, ibu Kayla.
“Mmm… Iya. Kayla hari ini pingin main sepeda sama Dira,” jawab Kayla yang les bahasa Inggris sejak usia 5 tahun.
“Kamu harus rajin les. Kalau kamu pintar bahasa Inggris, kamu juga yang senang,” bujuk Tita.
Kayla diam termangu, membayangkan senangnya bersepeda bersama teman-teman. Sebetulnya Kayla juga sudah lelah dengan kegiatan lain, seperti les menari yang dipelajarinya sejak ia berusia 4 tahun karena, menurut ibunya, Kayla berbakat menari.
Sebagai ibu, Tita merasa bertanggung jawab memberi stimulasi yang tepat bagi anaknya. Kecerdasan di semua bidang haruslah mendapat stimulasi agar Kayla berkembang menjadi manusia cerdas yang kelak mengisi ruang-ruang sekolah yang bagus, perguruan tinggi terbaik dan dunia kerja yang tak mungkin terisi oleh orang yang biasa-biasa saja.
Di era globalisasi, dunia kerja di negeri ini bisa saja diisi orang bule atau orang-orang negeri jiran yang konon lebih hebat dibanding orang kita. Mungkin Tita satu contoh dari sekian banyak orang tua yang gemar menakut-nakuti diri sendiri dengan berbagai isu masa depan. Bisa jadi Anda pun punya kekhawatiran seperti Tita, sehingga kalap dalam menstimulasi si kecil.
Stimulasi memang penting
Secara alami, anak punya potensi menjadi cerdas. Sejak bisa berjalan, ia punya keinginan kuat mempelajari apa saja. Secara alami pula, anak punya potensi bersikap optimis dan bahagia. Kalimat-kalimat menjanjikan itu ditulis Martha Heineman Pieper, Ph.D . dan beberapa rekannya dalam buku Smart Love.
Bagaimana potensi kecerdasan distimulasi? Apa sebenarnya yang dipahami orang tua tentang kecerdasan? “Banyak orang tua salah kaprah memahami kecerdasan. Kebanyakan mengira anak yang dapat melakukan banyak hal adalah anak cerdas,” ujar Erniza B. Joewono , M.Si , Staf Pengajar di Bagian Perkembangan, Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia . Padahal, mengacu pada definisi kecerdasan, anak cerdas adalah anak yang punya kemampuan global untuk bertindak secara terarah, berpikir secara rasional dan menyesuaikan diri dengan lingkungan secara efektif.
Ayah dua anak balita, Panca B. Wibawa (35 tahun), berpendapat bahwa kecerdasan muncul dalam perilaku. Kecerdasan bagi konsultan kesehatan ini merupakan gabungan dari pemahaman teori dan kreativitas. Anak cerdas berarti anak yang bersikap taktis menghadapi lingkungannya.
Sedangkan Rina Pane (37 tahun), ibu dari Fauzan (7 tahun) dan Resi (5 tahun) menyakini adanya multiple intelligence, kecerdasan majemuk, sehingga dalam usahanya mencerdaskan anak, Rina tak menuntut anak jadi juara di sekolah. Ia memperhatikan kekuatan anaknya dan memberi stimulasi pada kekuatan itu.
Untuk menjadi anak cerdas, stimulasi memang penting. Stimulasi apa yang mampu mencerdaskan anak? “Untuk anak usia prasekolah, bermain merupakan kegiatan utama. Berbagai kegiatan dan beragam permainan bisa dilakukan orang tua bersama anak untuk menyeimbangkan otak kanan dan otak kirinya,” tandas Erniza.
Stimulasi sesuai kebutuhan anak
Sayangnya, banyak juga orang tua tak paham soal itu. Dari pengalaman di ruang konsultasi, Erniza menemui tidak sedikit anak-anak usia sekolah dengan masalah emosi. Orang tua mengeluhkan prestasi belajar anak yang menurun. “Setelah diteliti, ternyata anak-anak itu sangat jenuh dengan berbagai aktivitas yang dijalaninya sejak usia prasekolah, yang kadang-kadang bukan kegiatan yang disukai anak,” ujar Erniza. Psikolog ini mencontohkan, “ Ada anak yang dipaksa belajar piano, padahal ia lebih suka menulis puisi.”
Mengapa ini bisa terjadi? Orang tua mengidentifikasikan diri mereka pada anak-anaknya. Mereka memberi stimulasi sesuai keinginannya, bukan kebutuhan anak. Orang tua memaksakan minatnya pada anak. Kalau anak berhasil, orang tua juga merasa berhasil. “Kebanggaan dirinya duluan yang diutamakan,” kata Erniza.
Kecenderungan itu, menurut Erniza, terjadi di perkotaan. Anak disuruh belajar banyak hal, hingga tak ada lagi waktu senggang untuk bermain. Padahal anak butuh bermain. Si kecil pun belajar banyak hal melalui bermain.
Faktor usia menentukan
Para psikolog perkembangan di seluruh dunia sepakat anak belajar melalui bermain. Kathy Hirs - Pasek, Ph.D, penulis Einstein Never Used Flash Cards: How Our Children Really Learn, And Why They Need to Play More and Memorize Less, mengungkapkan bermain sama dengan belajar.
Melakukan permainan sederhana merupakan kunci dari mengasuh anak agar cerdas dan bahagia. Sependapat dengan Pasek, Erniza mengatakan, untuk anak usia prasekolah, usaha mencerdaskan yang tepat adalah melalui permainan. “Anak-anak yang dicintai dan diasuh orang tua yang menikmati bermain bersama anak, akan tumbuh cerdas dan bahagia,” ungkap Pasek dalam bukunya.
Memang otak anak usia prasekolah, menurut Erniza, bukan untuk diisi dengan kegiatan akademik. Lalu, bolehkah anak usia prasekolah diberi stimulasi yang sifatnya terstruktur? Kapan waktu yang tepat? “Boleh saja, sejauh kegiatan itu sifatnya bukan akademis. Sesuatu yang sifatnya mengembangkan kreativitas seperti melukis atau menari, dan tidak menyita waktu istirahat dan waktu bermainnya,” tandas Erniza.
Kecerdasan majemuk dan kecerdasan emosi
Rina, yang melihat kekuatan Resi di bidang bahasa, mengikutkan Resi dalam sebuah kursus bahasa Inggris sejak putranya berusia 4 tahun. Bagi Rina, bidang lain pun, seperti olahraga dan musik perlu distimulasi mengingat adanya kecerdasan majemuk tadi. Itu sebabnya Fauzan diikutkan dalam olahraga Tae Kwon Do. Rina pun berencana memasukkan Resi ke kelas piano, bila kelas untuk anak seusianya dibuka. “Resi ingin belajar piano,” demikian alasan Rina, yang sempat cemas dengan isu globalisasi hingga ia bingung memilih TK.
Sebagai ayah dua putri berusia 3 tahun dan 2 bulan, Panca merasa yakin stimulasi kecerdasan yang sangat penting untuk anak balita hanyalah bermain. Ada saatnya anak bermain bersama orang tuanya, tetapi di usia tertentu, anak juga perlu bermain secara terarah, misalnya di kelompok bermain. “Tapi yang paling penting bagi anak agar ia cerdas dan bahagia adalah kebebasan,” ujar Panca.
Kebebasan, bagi Panca, merupakan landasan anak menata perilakunya. Dengan kebebasan yang ia berikan kepada Azka, Panca percaya Azka belajar menghargai kebebasan orang lain, bebas mengekspresikan diri serta bebas berbicara dan berkepribadian terbuka. Panca yakin kepribadian macam inilah yang dapat mengantar anak pada keberhasilan hidup.
Dalam istilah lain, yang dimaksud Panca bisa jadi, selain kecerdasan intelektual, anak perlu cerdas secara emosi. Erniza menekankan orang tua perlu terus-menerus disadarkan dan diingatkan pentingnya mengasah kecerdasan emosi anak-anaknya. (Lihat boks: 10 Cara Melatih Anak Cerdas Emosi ).
Anak butuh dukungan
Banyak hal dilakukan orang tua demi kebaikan anak. Dari itu semua yang penting adalah dukungan terhadap aktivitas anak, apalagi bila aktivitas itu pilihan si kecil. “Suatu saat kalau Azka ingin belajar melukis, saya akan mencarikan sanggar lukis. Bila usianya sudah cukup untuk belajar bahasa, sejauh itu keinginan Azka, saya mengizinkannya belajar bahasa,” ungkap Panca.
Meski dukungan orang tua terhadap kegiatan yang diminati anak itu penting, orang tua juga perlu waspada kebablasan , karena dukungan bisa-bisa berubah jadi tuntutan. “Tuntutan sama artinya tidak ada dukungan,” ujar Erniza. Anak yang selalu dituntut, tidak punya motivasi. Sementara dukungan yang tepat memotivasi anak mencapai prestasi yang baik (Lihat boks : Tepat Mencerdaskan & Membahagiakan Anak ).
Dukungan yang tepat dapat berupa pujian saat anak mendapat prestasi dari kegiatan yang disukainya. Misalnya, saat anak mendapat hadiah dari sanggar tari karena ia dapat melakukan gerakan tari dengan baik. Sepatutnyalah orang tua memberi pujian. Jangan karena menari bukan kegiatan yang orang tua sarankan, lantas anak tidak dipuji.
Dukungan dan pujian yang tepat merupakan pupuk bagi pertumbuhan harga diri yang sehat. Harga diri sehat merupakan sumber kebahagiaan anak. “Sayangnya, ada saja orang tua yang tidak perhatian terhadap kebahagiaan anak. Menurut mereka, kebahagiaan sudah ada pada anak dengan sendirinya,” tutur Erniza (Lihat boks: Syarat Anak Bahagia: Punya Self Esteem & Self Confidence ). Lalu, karena kebahagiaan itu sudah ada, orang tua merasa tak perlu lagi memupuknya.
Dengan begitu, yang terjadi, anak-anak di usia dini merasa tidak bahagia. “Mereka merasa dituntut, tetapi tak pernah mendapat pujian. Akibatnya, anak-anak itu terusik harga dirinya. Mereka tak punya self esteem ,” papar Erniza, yang juga ibu dua anak beranjak dewasa. Padahal kebahagiaan itu bersumber pada harga diri. Prioritaskanlah membangun harga diri anak sekarang juga!
Immanuella F. Rachmani (ayahbunda)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar