MENGHASILKAN anak yang tangguh dalam era kompetisi ketat sekarang ini bermula dari diri orangtua, parenting style yang dipilih, kerja sama, keteguhan melaksanakan kesepakatan, serta pemenuhan terhadap tiga jenis gizi yang dibutuhkan anak.
Hal ini disebabkan tantangan anak dan remaja yang berat. Aktivitas anak yang padat dari pagi hingga sore yang sudah dirancang agar anak siap menghadapi persaingan di masa mendatang. Orangtua sibuk bekerja berusaha memberikan yang terbaik untuk anaknya, namun tidak punya waktu cukup untuk memerhatikan, mendampingi dan mengawasi anak.
Selain itu, perkembangan tekonologi dan media yang makin canggih dengan intensitas tinggi juga mendukung anak kecanduan karena di situ anak menemukan hal yang tidak didapatkan di dunia nyata, sehingga anak di zaman ini hidup di "era layar" tidak aktif secara fisik.
"Era layar" bisa diartikan sebagai masa di mana teknologi dan media begitu mendominasi. Fisik anak menjadi jarang bergerak karena terbiasa duduk menonton tayangan yang disajikan layar televisi.
Lantas, bagaimana agar orangtua dapat membantu anak menghadapi tantangan tersebut? Menurut psikolog anak Elly Risman Musa Psi, langkah utama yang harus dilakukan ialah memastikan asupan energi yang cukup untuk menghadapi aktivitasnya.
"Kondisi gizi yang baik dan energi yang cukup tidak mungkin diperoleh bila asupan sehari-hari tidak diperhatikan. Semua bermula dari hal yang kecil sehari-hari. Bila pagi hari asupan energi tak memadai, maka bagaimana mungkin bisa beraktivitas dan berpikir," kata Elly saat ditemui okezone dalam acara Press Conference "Berpikir pun Butuh Energi" di Hotel Nikko, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Selasa (29/4/2008).
Setelah anak pulang sekolah, bagaimana mereka akan menjalani les dan kegiatan lainnya bila energi yang dimiliki sudah habis terkuras di sekolah? Demikian pula saat anak membuat tugas sekolah di malam hari, bagaimana mereka berpikir bila energi yang dimiliki tidak cukup? Maka sebagai orangtua harus memastikan bahwa anak memiliki cukup energi untuk menjalani aktivitasnya yang padat.
"Untuk mendorong anak agar aktif secara fisik dan tidak terpaku pada "era layar" ternyata tak hanya gizi fisik saja yang harus dipenuhi. Gizi jiwa pun harus diberikan pada anak," beber wanita yang mengambil gelar S3-nya di Department of Education, Florida State University, USA ,itu.
Anak aktif secara fisik, sambung wanita kelahiran Aceh ini, membuat dia tidak kecanduan dengan dunia layar karena dia menemukan hal yang juga mengasyikkan yaitu berinteraksi dengan sesama yang merupakan aktualisasi diri dan juga akan meningkatkan kepercayaan dirinya.
Hal ini baru akan berhasil bila orangtua menjadi role model secara aktif untuk melakukan terlebih dahulu dan mengkomunikasikannya dengan baik. Sehingga bukan "menyuruh" tetapi anak yang membuat keputusan sendiri.
Hanya saja, tambah almamater UI ini, seringkali pola komunikasi antara anak dan orangtua tidak dengan memberi kesempatan untuk memilih. Parahnya, anak juga tidak diberi kesempatan untuk membuat keputusan, justru akhirnya orangtua yang memutuskan segala sesuatu untuk anak. Padahal memilih dan mengambil keputusan merupakan ingredients inti dari ketangguhan.
"Ketangguhan merupakan sebuah sikap hidup dari upaya pengasuhan yang komprehensif. Hal ini diawali dari ksepakatan orangtua tentang anak dan apa yang ingin mereka hasilkan. Tangguh hanya dihasilkan dengan tega membiarkan anak mengalami jatuh, bangun dan gagal untuk kemudian berhasil," imbuhnya.
Menurutnya lagi, anak yang tidak pernah gagal dalam hidupnya tidak akan tahu apa artinya berhasil. Anak yang tidak pernah sakit hati maka tidak akan tahu apa artinya sehat dan anak yang tidak pernah kecewa tidak tahu bagaimana nikmatnya mencapai dan memeroleh sesuatu.
Meski demikian, semua hal ini mudah diucapkan tapi berat dilaksanakan. Karena pada umumnya orangtua selain selalu ingin menyenangkan anak juga tanpa sengaja mengharap anaknya mampu mewujudkan mimpi-mimpi yang tak tergapai di masa lalu (wishfulfilment).
"Hal lain yang tak kalah penting ialah kehadiran Tuhan dalam diri anak atau yang disebut dengan gizi spiritual. Ini pijakan dasar yang harus kuat. Karena dengan menghadirkan Tuhan dalam diri anak, maka anak akan mengetahui bahwa dia dan orang di sekitarnya diciptakan dengan sangat unik," terang ketua pelaksana Yayasan Kita dan Buah Hati.
Seiring menyadari keunikannya, maka bila anak berada dalam situasi kompetisi, dia mengenal limitasi dirinya. Karena kelebihan dan kekurangan yang dimiliki berbeda dengan yang lain dan bisa menerima kenyataan hidup.
"Kehadiran Tuhan juga memperkenalkan kepada anak bahwa di atas segalanya, Tuhan memperhitungkan upaya seseorang bukan hasilnya. Jadi menghadirkan Tuhan dalam jiwa anak memudahkan kita mengasuh jiwa yang tangguh. Dengan begitu, anak akan menikmati proses pendakian dalam hidupnya sendiri," tukasnya. (nsa)
0 komentar:
Posting Komentar